LANGIT DI UJUNG SENJA
Hari itu langit jingga menggantung rendah di atas atap sekolah. Angin sore berhembus pelan, menyapu rambut Nara yang duduk termenung di bangku taman belakang. Ia baru saja bertengkar dengan sahabatnya, Adit, karena hal sepele—lagi.
“Kenapa sih kamu selalu ngatur?” Itu yang terakhir diucapkan Adit sebelum pergi.
Nara menghela napas. Ia tahu dirinya terlalu dominan. Tapi Adit... dia selalu menurut. Kenapa sekarang malah marah?
“Nara,” suara lembut memanggilnya.
Itu Ayu, teman sekelas yang selama ini hanya sekadar menyapa. Duduk di sebelahnya, Ayu menatap langit sore.
“Aku dengar kamu bertengkar sama Adit,” katanya pelan.
Nara mengangguk, pelan. Tak sanggup menjawab.
“Aku juga pernah begitu,” Ayu melanjutkan. “Kadang kita terlalu sibuk jadi versi terbaik menurut orang lain, sampai lupa siapa diri kita sebenarnya.”
Kalimat itu menampar Nara.
Malamnya, Nara membuka buku hariannya. Menulis semua kekesalan, semua rasa bersalah, semua pencariannya atas arti menjadi diri sendiri. Ia sadar, ia bukan harus menjadi sempurna. Ia hanya harus jujur dan belajar menghargai perbedaan.
Keesokan paginya, Nara berdiri di depan kelas Adit. Jantungnya berdebar.
“Dit... maaf. Aku cuma... pengin semuanya berjalan baik, tapi malah bikin kamu gak nyaman.”
Adit diam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Gue juga salah. Harusnya dari dulu ngomong.”
Langit pagi itu biru cerah. Tak ada lagi awan mendung di antara mereka.