Thursday, June 12, 2025

SYAIR

 SYAIR PERSAHABATAN 

Bersama teman hati pun senang,

Hari terasa cerah dan terang.

Dalam susah dia datang,

Memberi semangat tak pernah hilang.


Teman sejati tak pandang rupa,

Hatinya tulus tak suka mengeluh.

Dia datang saat kita kecewa,

Menemani tanpa membuat resah.


Jika salah, dia mengingatkan,

Bukan menghina, tapi membimbingkan.

Dalam tawa ataupun tangisan,

Dia hadir tanpa paksaan.


Mari rawat persahabatan ini,

Dengan kasih dan juga hati.

Agar tetap abadi sampai nanti,

Seperti pelangi menghias langit pagi.

PUISI

 TEMAN SEJATIKU 

Teman, kau hadir di hari cerah,

Juga di saat hatiku gelisah.

Kau tak pergi saat aku salah,

Justru menguatkan dengan nasihat bijak dan ramah.


Kita tertawa di bawah langit biru,

Berbagi mimpi yang belum tentu.

Kadang bertengkar, kadang merindu,

Tapi tetap satu—kamu temanku.


Saat aku jatuh, kau mengulurkan tangan,

Tak banyak kata, tapi penuh harapan.

Kau ajarkan arti kesetiaan,

Dalam diam, dalam tindakan.


Terima kasih, teman terbaikku,

Bersamamu, dunia jadi lebih lucu.

Kita mungkin akan tumbuh dan jauh,

Tapi kisah kita tak akan rapuh.

Puisi Anak

 PELANGI DI LANGIT DESA 

Pelangi muncul setelah hujan,

Warnanya cerah, indah menawan.

Merah, jingga, kuning, hijau,

Langit jadi seperti pelukis mau.


Aku berdiri di pematang sawah,

Melihat langit tanpa lelah.

“Boleh aku naik ke pelangimu?”

Tanyaku pada awan biru.


Angin tertawa, burung pun bernyanyi,

Hari ini hatiku sangat berseri.

Terima kasih Tuhan yang baik,

Sudah beri langit yang cantik!

CERPEN

 LANGIT DI UJUNG SENJA 

Hari itu langit jingga menggantung rendah di atas atap sekolah. Angin sore berhembus pelan, menyapu rambut Nara yang duduk termenung di bangku taman belakang. Ia baru saja bertengkar dengan sahabatnya, Adit, karena hal sepele—lagi.


“Kenapa sih kamu selalu ngatur?” Itu yang terakhir diucapkan Adit sebelum pergi.


Nara menghela napas. Ia tahu dirinya terlalu dominan. Tapi Adit... dia selalu menurut. Kenapa sekarang malah marah?


“Nara,” suara lembut memanggilnya.


Itu Ayu, teman sekelas yang selama ini hanya sekadar menyapa. Duduk di sebelahnya, Ayu menatap langit sore.


“Aku dengar kamu bertengkar sama Adit,” katanya pelan.


Nara mengangguk, pelan. Tak sanggup menjawab.


“Aku juga pernah begitu,” Ayu melanjutkan. “Kadang kita terlalu sibuk jadi versi terbaik menurut orang lain, sampai lupa siapa diri kita sebenarnya.”


Kalimat itu menampar Nara.


Malamnya, Nara membuka buku hariannya. Menulis semua kekesalan, semua rasa bersalah, semua pencariannya atas arti menjadi diri sendiri. Ia sadar, ia bukan harus menjadi sempurna. Ia hanya harus jujur dan belajar menghargai perbedaan.


Keesokan paginya, Nara berdiri di depan kelas Adit. Jantungnya berdebar.


“Dit... maaf. Aku cuma... pengin semuanya berjalan baik, tapi malah bikin kamu gak nyaman.”


Adit diam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Gue juga salah. Harusnya dari dulu ngomong.”


Langit pagi itu biru cerah. Tak ada lagi awan mendung di antara mereka.